Senin, 25 Juli 2016

Makalah perjanjian perkawinan

Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974.Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang perjanjian kawin pada Pasal 29.
(1).Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersamadapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2).Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3).Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4).Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian Perkawinan adalah: Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.
Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu:
1. Harta asal/harta bawaan
2. Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak.
Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat masing-masing selam perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa tak’ilik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut.
Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.

ISI PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).

Begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.
Perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, dan selama perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Jadi jelas, perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada kesepakatan kedua belah pihak. Bila keinginan untuk merubah itu datang hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju, maka perubahan tidak sah yang berarti perjanjian yang telah disepakati, belum/tidak mengalami perubahan.


BILAMANA PERJANJIAN DILANGGAR

Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan, bahwa jika perjanjian perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka Anda berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

PERJANJIAN KAWIN MENURUT KUH PERDATA

Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masysrakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi. Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masysrakat kini semakin kompleks dan rumit.
Dalam sebuah perkawinan masyrakat kita sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing yang dikenal bersifat individualistis da materialistis masuk ke Indonesia melalui para penjajah. Setelah berabad-abad pola hidup mereka menurun pada generasi bangsa Indonesia.
Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat individualistis dan serakah mualai tertanam dalam watak dan jiwa bangsa. Kini banyak pasangan muda yang sering menyatakan dirinya sebagai orang modern, membuat surat perjanjian kawin. Hal ini jelas sangat
bertentangan dengan nilai yang ada dalam masysrakat timur. Banyak pasangan yang kini melakukan perjanjian kawin. Dengan berbagai alasan mereka membuat perjanjian kawin kepada masing-masing pasangannya.
Motivasi perkawinan
Seorang manusia pasti memiliki keinginan untuk melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang diinginkannya. Perkawinan merupakan sebuah institusi yang sakral dan mulia. Perkawinan harus dilandaskan pada rasa saling mengasihi antara kedua mempelai. Dalam Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Melihat definisi perkawinan yang disebutkan dalam undang-undang di atas, kita dapat melihat bahwa dalam suatu perkawinan haruslah dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang terhadap pasangan kita. Kita harus bisa memposisikan diri di tempat yang yepat. Sebagai suami berarti kita sebagai pelindung keluarga dan kepala rumah tangga. Seorang istri haruslah menjadi ibu yang baik dan pasangan yang mampu memahami suaminya.

Orang yang ingin melakukan perkawinan mempunyai motivasi tersendiri. Mereka melakukan perkawinan atas dasar pertimbangan yang matang. Ada beberapa motivasi dalam perkawinan yaitu:
1.Genetis
2.Biologis
3.Sosiologis
4.Religius
5.Psikologis
6.Ekonomi
7.Politis
Perjanjian kawin dilakukan seacara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum yang berarti para pihak telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar perjanjian tersebut (1313BW). Para pihak harus menaaati perjanjian ini sebagaimana diatur dalam BW. Sebagai sebuah perjanjian maka bila salah satu pihak melakukan pelanggaran (inkar janji) dapat dilakukan gugatan baik gugatan cerai atau ganti rugi.
Perjanjian kawin biasanya disusun sebelum dilangsungkannya perkawinan. Hal ini bertujuan mengatur terlebih dahulu sebelum adanya pernikahan. Sehingga hak dan kewajiban para pihak akan menjadi jelas. Pembuatan perjanjian sebelum ada perkawinan adalah agar perjanjian tersebut berlaku efektif ketika perkawinan tersebut dilangsungkan. Sebab ada kemungkinan jika perjanjian kawin dilaksanakan setelah adanya perkawinan akan menjadi sebuah hal yang aneh. Karena masih saja memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada indikasi untuk melakukan perceraian atau memang sejak awal motivasi perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis.
Perjanjian kawin harus disahkan petugas pencatatan perkawinan. Sebenarnya diperbolehkan untuk menyusun perjanjian secara pribadi atau hanya melibatkan pihak ketiga. Kemudian surat perjanjian tersebut diserahkan pada pagawai pencatatan untuk dilakukan pengesahan. Perjanjian kawin yang dilakukan seperti itu dikatakan sah namun kekuatan hukumnya lemah. Oleh karena itu banyak pihak yang membuat perjanjian ini dihadapan Notaris dengan menggunakan akta Notariat. Jika perjanjian dilakukan dengan notaris maka kekuatan hukum perjanjian tersebut kuat dan tidak diragukan.

Perjanjian kawin tidak dapat dirubah secara sepihak melainkan harus ada kesepakatan kedua belah pihak untuk merubahnya. Manusia kadang berubah pikiran sehingga undang-undang perkawinan mengakomodir hal ini dalam ketentuan pasal 29 (4) undang-undang perkawinan. Perubahan perjanjian juga tidak boleh melibatkan pihak ketiga dalam perjanjian.
Lahirnya perjanjian kawin
Isi perjanjian kawin
Perjanjian kawin merupakan sarana untuk melakukan proteksi terhadap harta para mempelai. Maka perjanjian kawin dapat memuat pengaturan mengenai harta bersama maupun harta bawaan. Harta bawaan dapat disatukan menjadi harta bersama. Harta bersama dalam perkawinan dapat dipisahkan melalui perjanjian kawin. Sebab suami dan istri dibebaskan untuk melakukan tindakan hukum.
Isi perjanjian kawin,Merunut pada Pasal 34 UU No.1 tahun 1974 yang berbunyi :
“(1).Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2).Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3).Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan. “


Akibat perjanjian kawin
Menurut undang-undang Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Adanya perjanjian kawin melahirkan akibat hukum karena perjanjian tersebut dikehendaki oleh para pihak. Perjanjian kawin menimbulkan beberapa akibat.

Secara hukum para pihak saling terkait dengan diadakannya perjanjian kawin dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan haknya. Para pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kawin.

Secara moril dan psikologis perjanjian kawin akan menimbulkan perasaan tidak percaya terhadap pasangan hidupnya. Ia akan dibayangi perasaan takut kalau pasangannya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian. Kecemasan ini akan mengakibatkan ketidakbahagiaan dalam menjalani rumah tangga.

Secara sosilogis dan budaya perjanjian kawin menimbulkan adanya culture shock. Masyarakat timur yang kekeluargaan tidak mengenal sifat individualistis dan materialistik tentu menolak adanuya perjanjian kawin. Perjanjian kawin dianggap sebagai hal yang tidak etis karena mementingkan harta saja. Walupun tidak selamanya perjanjian kawin berorientasi pada harta dalam perkawinan.


B.PERCERAIAN
Perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim ,atau tuntutan salah satu pihak dalam pekawinan itu.
Menurut Prof.Subekti,pengertian perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim/ tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Putusnya hubungan perkawinan Karena perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama islam yang dapat juga disebut dengan cerai talak.
Menurut pasal 39 ayat 2 no 1 tahun 1974 untuk melakukan perceraian harus cukup alas an bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri lagi
Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan istri,tetapi harus ada alasan yang sah.alasan-alasan tersebut diantaranya:
a.Zina (overspel)
b.Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)
c.Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan ,dan
d.penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.
Dalam undang-undang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena 3 hal yaitu: kematian,perceraian dan atas keputusan pengadilan .dimana perceraian pada hakikatnya dapat diatasi/dapat dihindari agar tidak terjadi. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena gugatan dari salah satu pihak dari suami/isteri dimana gugatan itu terjadi karena ketidak cocokan terhadap pasangannya/karna adanya perbedaan pendapat/sudah tidak lagi saling pengertian diantara mereka dan masing-masing tidak dapat mengendalikan diri serta masing-masing ingin sebagai pihak yang benar.
Berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan bahwa dalam undang-undang perkawinan menuntut dijamin agar perceraian diatur seadil-adilnya .alasan yang secara limitative ditentukan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 undang-undang perkawinan ditentukan kembali dalampasal 19 peraturan pemerintah no 9 tahun 1975,maka tidak dapat dilakukan perceraian


PEMISAHAN KEKAYAAN
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekeyaan pribadi si isteri undang-undang memberikan kpada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik,mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;
b. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri,hingga ada ke khawatiran kekeyaan iniakan menjadi habis;
c. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri,hingga si isteri akan kehilangan tanggunan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusn yang dilakukan oleh suami terhadap kekayaan isteri nya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayan ,harus diumumkan dahulu sebelum dipriksa dan diputuuskan oleh hakim,sedangkan putusan hakim ini pun harus di umumkan.ini unyuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ke tiga , terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami.mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan,putusan hakim berakibat pula, si isteri memeroleh kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi,karena perkawinan belum diputuskan,ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri dalam hukum .Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akte notaries , yang harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim dalam mengadalan pemisahan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar