BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perbedaan utama
antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil
jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang
dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek
yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Seperti contoh
seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang diinginkan; sedangkan
manusia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan bandringan, laso atau
melempar batu.
Sarana ilmiah pada
dasanya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah
yang harus ditempuh. Penguasaan sarana ilmiah merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang
dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat
berpikir dan alat komunikasi. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika
mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif
B. Rumusam Masalah
1. apakah Pengertian matematika
2. Matematika dan statistika sebagai sarana bepikir
deduktif dan induktif
3. Karakteristik berpikir deduktif dan induktif
C. Tujuan Penulisan
1.
Sebagai salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
2.
Mengetahui bahwa matematika dan statistika merupakan bagian dari sarana
berpikir ilmiah
3.
Memahami fungsi matematika dan statistika dalam pandangan Filsafat Ilmu
4.
Sebagai bahan informasi bagi pembaca
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MATEMATIKA
1.
Pengertian Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.Lambang-lambang matematika bersifat “artificial” yang baru mempunyai arti
setelah sebuah makna diberikan padanya.Tanpa itu matematika hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus yang mati.Sebagai bahasa, matematika memiliki kelebihan
jika dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya.Bahasa matematika memiliki makna
yang tunggal sehingga suatu kalimat matematika tidak dapat ditafsirkan
bermacam-macam. Ketunggalan makna dalam bahasa matematika ini, penulis
menyebutnya bahasa matematika sebagai bahasa "internasional", karena
komunitas pengguna bahasa matematika adalah bercorak global dan universal di
semua negara yang tidak dibatasi oleh suku, agama, bangsa, negara, budaya,
ataupun bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Bahasa yang dipakai dalam
pergaulan sehari-hari sering mengandung keraguan makna di dalamnya.Kerancuan
makna itu dapat timbul karena tekanan dalam mengucapkannya ataupun karena kata
yang digunakan dapat ditafsirkan dalam berbagai arti.
Bahasa matematika berusaha dan berhasil
menghindari kerancuan arti, karena setiap kalimat (istilah/variabel) dalam
matematika sudah memiliki arti yang tertentu.Ketunggalan arti itu mungkin
karena kesepakatan matematikawan atau ditentukan sendiri oleh penulis di awal
tulisannya. Orang lain bebas menggunakan istilah/variabel matematika yang
mengandung arti berlainan. Namun, ia harus menjelaskan terlebih dahulu di awal
pembicaraannya atau tulisannya bagaimana tafsiran yang ia inginkan tentang
istilah matematika tersebut. Selanjutnya, ia harus taat dan tunduk
menafsirkannya seperti itu selama pembicaraan atau tulisan tersebut.
Matematika adalah bahasa yang berusaha
menghilangkan sufat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artificial dan individual yang
merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang kita kaji. Suatu
obyek yang sedang dikaji dapat disimbolkan dengan apa saja sesuai dengan
kesepakatan kita (antara pengirim dan penerima pesan). Kelebihan lain
matematika dipandang sebagai bahasa adalah matematika mengembangkan bahasa
numerik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Jika
kita menggunakan bahasa verbal, maka hanya dapat mengatakan bahwa Si A lebih
cantik dari Si B. Apabila kita ingin mengetahui seberapa eksaknya derajat
kecantikannya maka dengan bahasa verbal tidak dapat berbuat apa-apa.Terkait
dengan kasus ini maka kita harus berpaling ke bahasa matematika, yakni dengan
menggunakan bantuan logika fuzzy sehingga dapat diketahui berapa derajat
kecantikan seseorang.Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang
bersifat kualitatif.Sedangkan matematika memiliki sifat kuantitatif, yakni
dapat memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan
penyelesaian masalah secara lebih cepat dan cermat.
Matematika memungkinkan suatu ilmu atau
permasalahan dapat mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke
kuantitatif.Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita
menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari suatu
ilmu.Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial, agak mengalami
kesukaran dalam perkembangan yang bersumber pada problem teknis dan
pengukuran.Kesukaran ini secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan
akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menggermbiarakan, di mana
ilmu-ilmu sosial telah mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitaif.Pada
dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan
daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut.
2.
Sifat Kuantitatif Matematika
Matematika mampu mengembangkan
bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk dapat melakukan pengukuran secara
kuantitatif.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan
control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksakyang
memungkinkan pemecahan masalah secara lebuh tepat dan cermat.Matematika
memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke
kuantitatif.Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative jika kita
menghendaki daya prediksi dan kontril yang lebih tepat dan cermat dari ilmu.
3.
Matematika Sebagai
Sarana Berfikir Deduktif
Brpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada
premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Secara deduktifmatematika
menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-preis yang tertentu.
Menalar secara induksi
dan analogi membutuhkan pengamatan dan bahkan percobaan, untuk memperoleh fakta
yang dapat dipakai sebagar dasar argumentasi. Tetapi pancaindera kita adalah
terbatas dan tidak teliti. Tambahan lagi, meskipun fakta yang dikumpulkan untuk
tujuan induksi dan analogi itu masuk akal namun metode ini tidak memberikan
suatu kesimpulan yang tidak dapat dibantah lagi. Umpamanya, meskipun sapi makan
rumput dan babi serupa dengan sapi namun adalah tidak benar bahwa babi makan
rumput.
Untuk menghindari
kesalahan seperti di atas, ahli matematika mempergunakan kerangka berfikir yang
lain. Umpamanya dia mempunyai fakta bahwa x – 3 = 7 dan bermaksud untuk mencari
nilai x tersebut. Dia melihat bahwa jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas persamaan
tersebut maka dia akan memperoleh bahwa x = 10. Pertanyaannya adalah bolehkah
dia melakukan langkah ini ? untuk menjawab hal tersebut maka pertama-tama dia
harus mengetahui bahwa sebuah persamaan tidak berubah jika kepada kedua ruas
persamaan tersebut ditambahkan nilai yang sama. Hal ini berarti bahwa dengan
menambahkan angka 3 kepada kedua belah persamaan tersebut, dia takkan mengubah
harga persamaan tadi. Berdasarkan hal ini maka dia berkesimpulan bahwa langkah
yang dilakukannya ternyata dapat dipertanggungjawabkan. Cara berfikir yang
dilakukan disini adalah deduksi. Seperti pada contoh di atas, dalam semua
pemikiran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis
dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui. Disini, seperti juga pada
fakta-fakta yang mendasarinya, maka kesimpulan yang ditarik tak usah diragukan
lagi.
4.
Karakteristik Berpikir deduktif
Deduksi berasal dari
bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari
keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya
induksi Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai
Pustaka 2006)
Deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu pernyataan
dasar untuk menarik kesimpulan.Kesimpulannya merupakan implikasi
pernyataan dasar itu. Artinya apa yang dikemukakan di dalam kesimpulan secara
tersirat telah ada di dalam pernyataan itu. Jadi sebenarnya proses deduksi tidak
menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan pernvataan kesimpulan yang
konsisten dengan pernyataan dasarnya.
B.
MATEMATIKA
MEMPUNYAI PERANAN YANG PENTING DALAM BERFIKIR DEDUKTIFif
1.
Aliran dalam matematika
a.
Formalisme
Formalis seperti
David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau
tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai deretan
permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam
alpabet Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2,
II atau SS0. Pada saat kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara
matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak memiliki sebarang
perluasan makna. Formalis
memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna
(meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan.
Menurut Ernest (1991) formalis
memiliki dua dua tesis, yaitu:
a.
Matematika dapat dinyatakan sebagai
sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan, kebenaran matematika
disajikan melalui teorema-teorema formal.
b.
Keamanan dari sistem formal ini
dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak konsistenan.
Ada bermacam keberatan
terhadap formalisme, antara lain;
1.
formalis dalam memahami obyek matematika
seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak bergantung pada
obyek fisik;
2.
formalis tidak dapat menjamin permainan
matematika itu konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang
bersifat material dan meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan
kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.
b.
Intuisionisme
Intuisionisme seperti Immanuel
Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang
bersifat sintetik a priori dimana eksistensi matematika tergantung dari
pengindraan. Intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar
dari semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan
adalah Ruang dan Waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua
konsep dalam intuisi, dan matematika murni
intuisi murni, maka matematika harus membangun mereka. Menurut Kant, Geometri
didasarkan pada intuisi murni ruang, dan, aritmatika menyelesaikan konsep angka
dengan penambahan berurutan dari unit dalam waktu. Ia menyimpulkan bahwa matematika murni, sebagai kognisi
apriori, hanya mungkin dengan mengacu ada benda selain yang indra, di mana, di
dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan waktu)
yang apriori. Kant selanjutnya menyimpulkan bahwa
dasar matematika sebenarnya intuisi murni, sedangkan deduksi transendental
tentang konsep-konsep ruang dan waktu menjelaskan, pada saat yang sama,
kemungkinan matematika murni
L.E.J. Brouwer
(1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi akal budi manusia.
Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak akan ada
apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya intuisionis
menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika, keberadaannya hanya
terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal dianggap tidak ada.
Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui kaitan dengan obyek
realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran logika bahwa
yang benar itu p atau bukan p. Intuisionisme mengaku memberikan
suatu dasar untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya
(secara mental) dari aksima-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif
merupakan metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan
pengetahuan yang eksklusifpada keyakinan yang subyektif. Tetapi kebenaran
absolut (yang diakui diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada
padangan yang subyektif semata. Ada berbagai
macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain; (1) intusionisme tidak
dapat mempertanggung jawabkan bahwa obyek matematika bebas, jika tidak ada
manusia apakah 2 + 2 masih tetap 4; (2) matematisi intusionisme adalah manusi
timpang yang buruk dengan menolak hukum logika p atau bukan p dan mengingkari
ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit pecahan pada matematika masa
kini. Intusionisme, menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada dapat
diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia;
(2) Lebih baik memiliki sejumlah sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg
dari pada memiliki sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong.
c.
Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian
dari logika. Penganutnya antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell
(1919), A.N. Whitehead dan R. Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima
logisime adalah yang paling jelas dan dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu (1) semua konsep matematika
secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2) semua kebenaran
matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan
kesimpulan secara logika semata.
Menurut
Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
a.
Bahwa pernyataan matematika sebagai
impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian kebenaran-kebenaran aksioma
sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar atau salah. Hal ini
mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran matematika dapat
dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b.
Teorema Ketiddaksempurnaan Godel
menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk mendemonstrasikan semua
kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses mengenai aksioma
matematika melalui logika belum cukup untuik menurunkan semua kebenaran
matematika.
c.
Kepastian dan keajegan logika
bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak dijustifikasi.
Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan merupakan
kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu
untuk pengetahuan matematika.
2.
Perkembangan matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat
dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif .
Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan objek empiris ke
dalam kategori-kategori tertentu. Pengosongan ini memungkinkan kita untuk
menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi
kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi
manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai
melakukan perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori
yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari
hubungan yang didasarkan pada perbandingan antara di berbagai objek yang kita
kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan
sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan
pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal
berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun pada tahap yang
ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika
bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek
tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Disamping sebagai bahasa maka matematika juga
berfungsi sebagai alat pikir . ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan
kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola pikir tertentu.
Matematika menurut Widgestein, tak lain adalah metode
berpikir logis.
berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama
makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti
disimpulkan oleh Bertrand Russell “ matematika adalah masa kedewasaan logika,
sedangkan logika adalah masa kecil matematika.”
Matematika pada garis besarnya merupakan
pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Betrand
Russel dan whitead dalam karyanya yang berjudul Principia Matematica
mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah
pernyataan logika. Meskipun tidak seluruhnya berhasil Pierre de Fermat
(1601-1665)mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma)
yang menentang pemikir-pemikir matematika dan belum terpecahkan. Dia menyatakan
bahwa xn + yn = zn dengan x, y, z
dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n
= 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi
persyaratan ini seperti 31 + 41 = 71 dan 32
+ 42 = 52. Fermat sendiri tidak menyertakan pembuktian
rumus tersebut yang sampai sekarang tetap tantangan bagi logika deduktif
meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan kebenarannya.
Tidak semua filsuf setuju dengan pernyataan
bahwa matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (
l724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a
priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengetahuan
kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung
kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu
eksperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah
mengekspresikan produk pikiran (tentang obyek yang faktual). Selanjutnya
Wittgenstein membuktikan bahwa 2 x 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif.
Memang, menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan
oleh perbukitan secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif.
Jika seseorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi hari, kemudian dia
memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka pada malam dia akan
mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi empat ekor. Sekiranya pada malam
hari dia melakukan “verifikasi” dan jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia
menyimpulkan ada sesuatu yang salah secara empiris dibandingkan dengan
penalaran rasionalnya, sebab apa pun yang terjadi jumlahnya harus empat ekor.
Kecuali tentu saja bebeknya ada yang lari lewat kolong rumah; ada pencuri yang
datang selagi dia tidur; atau ada bebek yang bersembunyi demikian juga jika
bebek-bebek itu beberapa bulan kemudian tidak lagi empat melainkan lima maka
masalah itu bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu berternak bebek dan
sebangainya.
Disamping sarana berpikir deduktif yang
merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan
secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dan
rnempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk
membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan matematik, Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan pragmatis dari matematika
ini silih berganti mendapatkan perhatian terutama dikaitkan dengan kegiatan
pendidikan .
Griffits dan Howson (l974) membagi sejarah
perkembangan matematika. menjadi empat tahap, Tahap yang pertama dimulai dengan
matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya
seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan
dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti
banjir. Para Pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang matematika yang
sangat dihargai dalam masyarakat yang mengaitkan aspek praktis dari matematika
dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan praktis ini maka aspek
estetik juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual
dalam kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Walaupun demikian dalam kebudayaan
Mesir Kuno ini maka aspek praktis dari matematika inilah merupakan tujuan
utama, Hal yang sama juga berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan
Babylonia yang turut mengembangkan kegunaan praktis dari matematika.
Matematika mendapat momentum baru dalam
peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat
dikatakan bahwa peradaban Yunani ini yang meletakkan dasar matematika sebagai
cara berpikir rasional dengan menetapkan beberapa langkah dan definisi
tertentu. Euclid pada 300 SM mengumpulkan semua pengetahuan ilmu ukur dalam
bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari berbagai
ponsulat, definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang
kaya mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan yang kasar termasuk
hal-hal yang praktis termasuk melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum
cendekiawan dapat memusatkan perhatiannya pada aspek estetik dari matematika
yang merupakan simbol.
Babak perkembangan matematika selanjutnya
terjadi di Timur di mana pada sekitar tahun 1000 bangsa Arab, India, dan Cina
mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara
penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan
aljabar tersebut. Waktu perdagangan antara Bangsa Timur dan Bangsa Barat
berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah
dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan orang Yunani dan
penemuan ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance
yang meletakkan dasar bagi, kemajuan matematika modern selanjutnya.
Ditemukanlah di antaranya kalkulus differential yang memungkinkan kemajuan ilmu
yang cepat di abad ke – 17 dan revolusi industri abad ke – 18.
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai
bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat.
Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda,
kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak,
sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di
lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem
pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan
dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi
secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan
bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak
kata-kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah
informasi dan salah interprestasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis
dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri,
sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis dengan kata-kata.
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu
sendiri tidak mengandung kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual
mengenai dunia empiris. Matematika merupakan alat yang memungkinkan
ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin
keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai
postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu maka
matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan
bersifat jamak. Misalnya dengan mengubah salah satu ponsulatnya maka dapat
dikembangkan sistem matematika yang baru bila dibandingkan dengan sistem
sebelumnya. Semula memang dianggap bahwa hanya terdapat Satu sistem matematika
dimana perubahan-perubahan dari postulat-postulatnya akan mengakibatkan terjadinya
inkonsistensi. Namun hal ini ternyata tidak benar sebagaimana terjadi dengan
ilmu ukur Euclid, Perubahan salah satu postulat Euclid tersebut yang semula
berbunyi “Dari satu titik di luar sebuah garis hanya dapat ditarik satu
garis sejajar dengan garis tersebut yang jumlahnya tak terhingga”. Ternyata
tidak menimbulkan inkonsistensi malahan menimbulkan sistem matematika baru yang
sama sekali berbeda dengan ilmu ukur Euclid. Sistem matematika yang Baru ini
dikenal sebagai ilmu Ukur Non-Euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777
-1855) pada tahun 19792 dikembangkan oleh Lobachevskii ( 1793-1856), Bolyai (
1802- 1860) dan Riemann (1826-1866).21) Ilmu Ukur Non-Euclid ini mulanya hanya
merupakan sesuatu yang bersifat akademis dan baru menemukan kegunaannya ketika
Einstein menyusun Teori Relativitas.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya
bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu
Ukur Non-Euclid ini bersifat benar Atau salah sebab hal ini harus dilihat dalam
perspektif ruang dan waktu. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai
obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut.
Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang cocok dengan postulat
Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas bahwa ilmu ukur
non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenai alam
semesta, di mana cahaya menjadi garis- lengkung bersama tarikan gravitasi dan
jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam
hal ini kita berpaling kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua sistem ilmu ukur
ini berlaku tergantung dari postulat yang dipergunakannya.
3.
Intuisi Sebagai Dasar Matematika
Menurut Immanuel Kant
pemahaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan cara terlebih dulu menemukan intuisi murni pada akal atau pikiran
kita. Matematika yang bersifat sintetik a
priori dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu intuisi penginderaan, intuisi akal, dan intuisi budi. Intuisi penginderaan terkait dengan obyek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a
posteriori. Intuisi akal
mensintetiskan hasil intuisi penginderan ke dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi budi rasio kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi matematika.
Menurut Kant matematika merupakan suatu penalaran yang
berifat mengkonstruksi
konsep-konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu. Intuisi keruangan dan waktu secara umum yang pada akhirnya dianggap mendasari matematika, Oleh karena
itu, Kant berpendapat bahwa matematika dibangun di atas intuisi murni yaitu intuisi ruang dan waktu dimana konsep-konsep matematika dapat
dikonstruksi secara
sintetis. Intuisi murni tersebut
merupakan landasan dari semua penalaran
dan keputusan matematika. Jika tidak berlandaskan intuisi murni maka penalaran tersebut tidaklah mungkin. Menurut Kant matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika kita mampu menemukan intuisi murni sebagai landasannya; dan matematika yang telah dikonstruksinya bersifat sintetik a priori.
Menurut Kant, intuisi, dengan macam dan jenisnya yang
telah disebutkan di atas, memegang
peranan yang sangat penting untuk mengkonstruksi matematika sekaligus menyelidiki dan menjelaskan bagaimana matematika dipahami dalam bentuk geometri atau arithmetika. Pemahaman matematika secara transenden melalui
intuisi murni dalam
ruang dan waktu inilah yang menyebabkan matematika adalah mungkin sebagai ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Untuk melakukan
kegiatan ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa,
matematika dan statistika.
2.
Sarana berpikir ilmiah
merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik.
3.
Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana
bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain
4.
Matematika melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan-pernyataan yang ingin kita sampaikan menjadi
simbol-simbol.
5.
Statistika merupakan
bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala
dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran.