Kamis, 30 Juni 2016

Makalah Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-kasus tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreativitas pada satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikelurkanya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian sekolah.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa latar belakang manajemen berbasis sekolah?
2.    Bagaimanakah konsep manajemen berbasis sekolah?
3.    Bagaimanakah Karakteristik MBS?
4.    Apa sajakah urusan-urusan yang menjadi kewenangan tanggung jawab sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah daerah.
Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan oleh Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.[1]
Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya.[2] Konsep ini menegaskan bahwa ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah, personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui kebutuhan belajar siswa.
Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut mengacu pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar atas arah yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan atas anggaran dianggap merupakan inti dari MBS.
Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah pengawasan atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada ekstrim lainnya, beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum sebagai bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan beberapa kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses pendidikan akan dikembangkan.[3]
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.
Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.
Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah swa-manajemen (self managing school) bukan pada penyelenggara sekolah mandiri (self governing school).[4]
Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.[5] Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.[6]
Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan meletakkan strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan publik.[7]
Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, anggota pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan di suatu Negara berdasarkan system pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, metode pengajaran, dan system evaluasi, dan kesemuanya itu kurang memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tehun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya di bidang industry dan organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi system secara structural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok ialah lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Bayangkan saja di banyak Negara gerakan reformasi pendidikan model MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an dan disusul banyak Negara pada tahun 1980-an, namun di Indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak terlepas dari system otoriter selama orde baru. Semua diatur dari pusat, yaitu di Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam, karena belum ada upaya yang maksimal dari birokrat pendidikan di atas sana. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) muncul karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan. Kedua, kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di banyak Negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama ini masih dirasa masih kurang, diantaranya dengan membuat program progaram antara lain “aku anak sekolah” dan dana bantuan operasional. Program tersebut diharapkan mampu menjunjung kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi karena pengelolaannya masih terpusat dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang belum sesuai. Hingga munculah suatu pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang memberi kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah. Pemikiran inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan MBS adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.[8]
B.       KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAHn melibatkan semua pemangku
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan.
C.      KARAKTERISTIK MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Organisasi Sekolah
Proses Belajar-Mengajar
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya dan Administrasi
·      Menediakan Manajemen/organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
·      Meningkatkan kualitas belajar siswa
·      Memberdayakan staf dan menempatkan  personel yang dapat melayani keperluan siswa
·  Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut, sesuai dengan kebutuhan.
D. URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH
      Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu:
  1. proses belajar mengajar,
  2. perencanaan dan evaluasi program sekolah,
  3. pengelolaan kurikulum,
  4. pengelolaan ketenagaan,
  5. pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
  6. pengelolaan keuangan,
  7. pelayanan siswa,
  8. hubungan sekolah-masyarakat, dan
  9. pengelolaan kultur sekolah.
a. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
            Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b. Perencanaan dan Evaluasi
            Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
            Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
c. Pengelolaan Kurikulum
            Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006. Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian, dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
            Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.
d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
            Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
            Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f. Pengeloaan Keuanagan
            Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
            Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h. Hubungan Sekolah-Masyarakat
            Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur Sekolah
            Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.
3. Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar