BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem manajemen
pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan yang berarti bagi
peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-kasus tertentu,
manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreativitas pada
satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi
terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru
dibidang pendidikan.
Seiring
bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikelurkanya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah
(MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang
sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan
muncul kemandirian sekolah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa latar belakang manajemen berbasis sekolah?
2.
Bagaimanakah konsep manajemen berbasis sekolah?
3.
Bagaimanakah Karakteristik MBS?
4.
Apa sajakah urusan-urusan yang menjadi kewenangan tanggung jawab sekolah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola dengan
memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal
dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan
oleh pemerintah daerah.
Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan oleh
Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal
struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang
mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta
bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana
penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.[1]
Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara
untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa saja yang terjadi
pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya.[2]
Konsep ini menegaskan bahwa ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan
pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak
dalam mengikuti sekolah, personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih
meyakinkan karena mereka mengetahui kebutuhan belajar siswa.
Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut mengacu
pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau
tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar
atas arah yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan atas
anggaran dianggap merupakan inti dari MBS.
Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah pengawasan
atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada ekstrim lainnya,
beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum sebagai bagian dari MBS. Di
sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah
memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan
spesifik. Para staf menentukan beberapa kebutuhan pengembangan profesional
mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses pendidikan akan
dikembangkan.[3]
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian
otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya
yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap
paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.
Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara
tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang
diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai
pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen,
penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.
Terkait
dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah yang efektif.
Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah swa-manajemen (self
managing school) bukan pada penyelenggara sekolah mandiri (self
governing school).[4]
Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas
merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif
yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.[5]
Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan
berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk
mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan
aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.[6]
Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa
dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah,
serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan
sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan
meletakkan strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan
tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan dan mendorong peningkatan
efektivitas dan efisiensi pendidikan publik.[7]
Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu,
anggota pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru,
orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih
besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan
pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan
mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan
birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan
pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman
sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang
kondusif.
Latar
belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan
di suatu Negara berdasarkan system pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara
tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan
kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak
Negara lain seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia
Baru, dan Indonesia.
Sebelum
berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme
guru, metode pengajaran, dan system evaluasi, dan kesemuanya itu kurang
memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada
tehun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen
modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya di bidang industry dan organisasi
komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi
untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat mulai sadar
bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup
pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh
karena itu, diperlukan reformasi system secara structural dan gaya manajemen
sekolah.
Setelah
adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah
efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif.
Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana
sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor
pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti
pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan
sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut
kemudian melahirkan model-model MBS.
Di
Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-negara
maju yang terlebih dahulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok ialah
lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Bayangkan
saja di banyak Negara gerakan reformasi pendidikan model MBS ini sudah terjadi
pada tahun 1970-an dan disusul banyak Negara pada tahun 1980-an, namun di
Indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak terlepas dari system
otoriter selama orde baru. Semua diatur dari pusat, yaitu di Jakarta baik dalam
penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode
pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis
upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.
Selama
bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan dengan cara
tambal sulam, karena belum ada upaya yang maksimal dari birokrat pendidikan di
atas sana. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) muncul karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan
dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan.
Kedua, kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun
di banyak Negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para
pecinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.
Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
yang mana selama ini masih dirasa masih kurang, diantaranya dengan membuat
program progaram antara lain “aku anak sekolah” dan dana bantuan operasional.
Program tersebut diharapkan mampu menjunjung kualitas maupun kuantitas
pendidikan di Indonesia, akantetapi karena pengelolaannya masih terpusat dan
kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak positif. Dugaannya adalah
masalah manajemen yang belum sesuai. Hingga munculah suatu pemikiran atau
gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang memberi kebijakan kepada masing
masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah.
Pemikiran inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN
dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan
bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan,
yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan
dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan MBS
adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih
baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Mulyasa (2002) mengemukakan
Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan
pendidikan nasional.
Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) adalah kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk
mengelola dan mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan
karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam
mewujudkan tujuan pendidikan.[8]
B.
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAHn melibatkan semua pemangku
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan
secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku kepentingan yang terkait
dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan.
C.
KARAKTERISTIK MBS
Apabila
manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS
menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat dimana sekolah itu berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa
dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja
organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), proses
belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Organisasi Sekolah
|
Proses Belajar-Mengajar
|
Sumber Daya Manusia
|
Sumber Daya dan Administrasi
|
· Menediakan Manajemen/organisasi kepemimpinan
transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
|
· Meningkatkan kualitas belajar siswa
|
· Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan
siswa
|
· Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan
dan mengalokasikan sumber daya tersebut, sesuai dengan kebutuhan.
|
D.
URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi
pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah
telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi
kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada
dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa
desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya,
tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan
masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi,
pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah.
Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan
tanggungjawab sekolah, yaitu:
- proses belajar mengajar,
- perencanaan dan evaluasi program sekolah,
- pengelolaan kurikulum,
- pengelolaan ketenagaan,
- pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
- pengelolaan keuangan,
- pelayanan siswa,
- hubungan sekolah-masyarakat, dan
- pengelolaan kultur sekolah.
a.
Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses
belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan
memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang
paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik
siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di
sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih
harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi,
inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual,
pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah contoh-contoh yang
dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b. Perencanaan dan
Evaluasi
Sekolah
diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS) atau school-based
plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya,
kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi
sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan
pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis
kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan,
mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
Untuk
itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara
internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses
pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah
dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri
harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang
sebenarnya.
c. Pengelolaan
Kurikulum
Saat
ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari pemerintah
pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006.
Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah
diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini,
sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi
masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya,
memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh
mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006.
Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok
pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian, dan
rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sekolah
dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang
diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat
diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum,
artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan
selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain
itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan
pengembangan diri.
d. Pengelolaan
Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
Pengelolaan
ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan
kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi,
laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini
masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e.
Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan
fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan
bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan,
kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat
kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.
Pengeloaan Keuanagan
Pengelolaan
keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan
oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang
sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan
untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income
generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung
pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari
penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk
melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada
pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena
itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h.
Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi
hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian,
kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan
finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu
sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur
Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan
nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya
proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan
menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan
harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan
kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities)
adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar
siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah
sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal
sebagai berikut:
1.
Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan
kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas
sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat
implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis
sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2.
Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan
oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.
3.
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah
dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu,
harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi
peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional,
jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu,
daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang
kecil untuk berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar