Selasa, 28 Juni 2016

Makalah Sistem Ekonomi Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan diskusi tentang ekonomi isi Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan pandangan tentang isu-isu ekonomi oleh sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti mereka, tidak sedikit di antara mereka adalah ahli hukum dari eminensia.
Pentingnya tugas yang akan membuang banyak cahaya yang diperlukan pada bagaimana pikiran Islam menanggapi perubahan kondisi ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia Islam. Kami sangat membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui sejarah. Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.
Maka dari itu, pada makalah ini saya akan membahas tentang  pemikiran ekonomi Ibnu Hazm dan Nizam. serta seluk beluk riwayat hidup beliau.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran ekonomi Ibnu Hazm?
2.      Bagaimana pemikiran ekonomi Nizam-al Mulk?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
1.      Biografi Singkat Ibnu Hazm
Ibnu Hazm bernama lengkap Abu Muhammad Ali abn Abu Umar Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Qurthubi al-Andalusy, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M).[1] Di rumah keluarganya yang kaya, mewah dan memiliki kekuasaan.[2] Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur Abu Amir Muhammad bin Abu amir al-Qanthani (192 H) dan najib Abd al-Malik al-Mudzaffar (399 H/ 1009 M). Kakeknya Yazid, adalah orang pertama kali masuk Islam dari para kakeknya. Ia berasal dari Persia, sedangkan Khalaf, kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia. Sedangkan julukannya sAbu Muhammad dan beberapa karyanya ialah “Abu Muhammad”, namun ia lebih dikenal dengan sebutan “Ibn Hazm”.[3] Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hijab al-Mansur Abu Amir Muhammad bin Abu Amir al-Qanthani (w.192 H) dan Hajib Abdul malik al-mudzaffar (w. 399 H/1009 M).[4]
Sebagai putra seorang menteri, sudah tentu proses pendidikan Ibnu hazm mendapat perhatian khusus. Para pelayan yang bekerja di rumahnya, tidak hanya diberi tugas melayani dan mengurusi perihal persoalan rumah tangga seperti biasanya, melainkan sebagian ada yang diserahi tugas mengajar dan mendidik Ibnu hazm, seperti penuturan Ibnu Hazm  dalam Suwito dan Fauzan, sebagai berikut: “Aku banyak bergaul dengan para wanita (pengasuh di rumah) sehingga aku mengetahui segala seluk beluk dan rahasia mereka yang tidak diketahui oleh orang lain, karena aku diasuh dan dididik di kamar mereka, hidu dan besar di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bergaul dengan pria kecuali setelah usia remaja. Mereka, para pengasuh itulah yang mengajari aku menulis dan membaca Al-Qur’an serta memperkenalkan berbagai macam syair.”
Dimungkinkan ibu Ibnu Hazm meninggal saat ia masih kecil, namun dalam tradisi Arab, ia tidak pernah menyinggung perihal ibunya, seperti halnya ia tidak pernah menyinggung perihal isterinya.
Ibnu Hazm memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada banyak ulama. Ia belajar hadits, antar lain dari Ahmad Ibnu al-Jasur dan Abd Rahman al-‘Azdi. Gurunya dibidang fikih antara lain, abdullah Ibnu Dahun, seorang faqih Malikiah yang banyak memberikan fatwa di Cordova. Guru fiqh yang berjasa membawa Ibnu Hazm  kepada madzhab al-Zhahiri adalah Mas’ud Ibnu Sulaiman Ibnu Maflah.
Ia memiliki banyak guru dan mempelaji banyak ilmu. Ia juga menerima hadis, syari’ah, serta sastra dari para guru di Cordova, karena saat itu daerah tersebut di penuhi oleh para ulama besar.
Setelah itu, Ibnu Hazm di serahkan kepada Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Di bawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum. Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16 tahun. Pada saat itu, hadis dan fiqih merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa ibnu Hazm juga mempelajari fiqih di saat yang sama.
Ada banyak karya dari Ibnu Hazm. Menurut putranya, Abu Rafii al-Fadl, seperti dikutip Yaqut, karya Ibnu Hazm mencapai jumlah sekitar 400 jilid setebal kurang lebih 80.000 halaman,[5] sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh seorang tokoh di dunia Islam sebelum Ibnu Hazm kecuali Abu Ja’far al-Thabari.
Karya tulis Ibnu Hazm bisa dibedakan ada yang berbentuk buku seperti, al-Fashal, al-Muhalla dan al-Ihkam, dan ada pula yang berbentuk risalah, karya kecil.[6] Karyanya meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.[7]
2.      Karya-karya Ibnu Hazm
Menurut anaknya Abu Rafi’, Ibnu Hazm memiliki 400 karya yang terdiri dari 80.000 lembar. Karyanya meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi. Ia seorang pemikir yang sangat teliti. Ibnu Hazm menulis banyak kitab yang sebagian besar di antaranya hilang ketika terjadi kekacauan di Kordoba. Di antara karya-karyanya:
a)      At-Taqrib li Hudud Al-Mantiq.
b)      Tauq Al-Hamamah fi Fadhli Ahli Al-Andalus
c)      Nuqat Al-Arus fi Tawarikhi al-Khulafa
d)     Al-Fashl fi Al-Nilal wa Al-Ahwa wa An-Nihal
e)      Al-Hakam fi Ushul Al-Ahkam
f)       Al-Ittishal ila Fahm Al-Khishal
g)      Ibthal Al-Qiyas wa Ar-Ra’y wa Al-Istihsan wa At-Taqlid wa At-Ta’lil
h)      Jamharat Al-Ansab (Ansab Al-Arab)
i)        Kitab Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawat An-Nufus
Selain menulis kitab ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah thauq al-Hamamah (di bawah naungan cinta).[8]
Tidak dapat diragukan lagi ibn Hazm adalah seseorang pakar dibidangnya, hal tersebut dapat kita lihat dari komentardari beberapa tokoh, Abu Hamid al-Ghazali: “Saya melihat buku-buku karangan Ibnu Hazm, semuanya menujukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”.
Di samping kemampuan yang tinggi, Ibnu Hazm juga terkenal dengan sifat ikhlasnya, keikhlasan dan tidak adanya tendensi apa-apa menjadikan Ibnu Hazm sebagai sosok ulama yang berani, tegas, lugas dalam menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, dengan ucapan dan tulisan, tanpa memikirkan apakah hal tersebut menguntungkan dirinya atau bahkan merugikan. Keberanian tersebut dapat jelas kita lihat dalam buku-bukunya.
3.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang Ekonomi antara lain[9]:
1)      Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Sejalan dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha dalam istinbat hukumnya di bidang ekonomi, sehingga cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandaskan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, sebagian penulis kontemporer menyatakan sebagai perintis ekonomi sosialis yang Islami. namun demikian, penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung menarik-narik syariat Islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk pemikiran Barat. Syariat Islam bukan merupakan sistem sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalis yang menekankan kepada kepemilikan individual. Diantara pernyataan Ibnu Hazm berkenaan dengan sewa tanah adalah :
Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm menyatakan :
Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali.”
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah, yaitu:
a.       Tanah dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri,
b.      Si pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa sewa.
c.       Si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai kesepakatan.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari Rafi’ bin Khudaij r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari).
Dari Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw melarang pengambilan upah atau bagian tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah tersebut”. (Riwayat Muslim)
Pandangan Ibnu Hazm bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi manusia tidak menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan penguasaannya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
2)      Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a.      Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorang dari udara panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita rasa    dan berbagai pengaruh lain, seperti kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat, yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini adalah sebagai berikut[10] :
Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim padan panas yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.”Ibnu
b.      Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Mengenai adanya kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini dikemukakan oleh banyak sahabat dan tabi’in, dan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang pertama yang berpendapat demikian.
Sebagian fuqaha lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini masyhur dikalangan ulama fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dilenal pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata :
Seorang sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang mengadap Rosulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam sehari semalam”. Ia bertanya, “Apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya, “Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “Aku tudak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia beruntung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus dipahami dalam konteks kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang memilki harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih daripada itu.
Sebenarnya perbedaan dari kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban kifai, dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.
3)      Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang tidak mau membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkan zakatnya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara tersembunyi maupun terang-terngan.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti hutang terhadap Allah SWT. Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti kredit macet bagi negara dalam periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu.
4)      Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak, sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini mendiskusikan teori keuangan publik (public finance) konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak. Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah.
Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini mungkin terjadi karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para petugas pajak.
Penghimpunan administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M. Imamuddin: “Cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang disebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulakan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugas ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat, sehingga hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
B.     Pemikiran Ekonomi Nizam Al-Mulk
1.      Biografi Singkat Nizam Al-Mulk
Nizam Al-Mulk Lahir di sebuah desa kecil bernama Radkan, dekat Tus , di Persia (Iran modern), dan pada awalnya melayani Ghaznavid sultan, Nizam al-Mulk menjadi administrator kepala seluruh Khorasan provinsi dengan 1.059 CE.
Dari 1063, ia menjabat sebagai wazir Saljuk dan tetap dalam posisi sepanjang pemerintahan Alp Arslan (1.063-1.072) dan Malik Shah I (1072-1092).He left a great impact on organization of the Seljuq governmental bodies and hence the title Nizam al-Mulk which translates as "the order of state". Dia meninggalkan dampak yang besar pada organisasi badan pemerintah Saljuk dan karenanya Nizam al-Mulk judul yang diterjemahkan sebagai "urutan negara". He was pivotal figure who bridged the political gap between both the Abbasids and the Seljuqs against their various rivals such as the and the Buyids .Dia adalah sosok penting yang menjembatani kesenjangan politik antara kedua Abbasiyah dan Saljuk terhadap saingan mereka berbagai seperti Fatimiyah dan Buwaihi.
Selain dari pengaruh luar biasa sebagai perdana menteri dengan kewenangan penuh, ia juga terkenal karena sistematis mendirikan sejumlah sekolah dari pendidikan tinggi di beberapa kota, yang terkenal Nizhamiyah sekolah, yang dinamai menurut namanya. Dalam banyak aspek, sekolah-sekolah ini ternyata menjadi pendahulu dan model universitas yang didirikan di Eropa.
Nizam al-Mulk juga banyak dikenal karena risalah tebal nya di kerajaan berjudul Siyasatnama (Kitab Pemerintahan ). Ia juga menulis sebuah buku berjudul al-Dastur Wuzarā, ditulis untuk anaknya Abolfath Fakhr-ol-Malek, yang tidak berbeda dengan buku terkenal Qabus Nama .
Nizam al-Mulk dibunuh dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad pada 10 Ramadhan 485 AH (14 Oktober 1092 CE) Literatur utama mengatakan dia ditikam oleh belati dari anggota Assassins (Hashshashin) dikirim oleh terkenal Hassan-i- Sabbah dekat Nahavand, Persia, saat ia sedang dibawa nya sampah. Pembunuh itu mendekatinya menyamar sebagai darwis.
Akun ini sangat menarik mengingat cerita mungkin apokrif diceritakan oleh Jorge Luis Borges . Dalam cerita ini pakta terbentuk antara Nizam al-Mulk muda (pada waktu itu dikenal sebagai Abdul Khassem) dan dua temannya, Omar Khayyam dan Hassan-i Sabbah- . Kesepakatan mereka menyatakan bahwa jika seseorang harus naik ke menonjol, bahwa mereka akan membantu dua lainnya untuk melakukan hal yang sama. Nizam al-Mulk adalah orang pertama yang melakukan hal ini ketika ia ditunjuk wazir ke sultan Alp Arslan . Untuk memenuhi perjanjian tersebut ia menawarkan kedua posisi teman dari peringkat dalam pengadilan. Omar menolak tawaran itu, meminta bukan untuk diberikan sarana untuk melanjutkan studinya tanpa batas. Nizam ini lakukan, serta membangun sebuah observatorium dia. Meskipun Hassan, seperti Omar, memutuskan untuk menerima janji yang ditawarkan kepadanya, ia terpaksa melarikan diri setelah merencanakan untuk membuang Nizam sebagai wazir. Selanjutnya, Hassan tiba dan menaklukkan benteng Alamut , dari mana ia mendirikan Assassins.
Laporan lain mengatakan ia dibunuh secara rahasia oleh Malik Shah I dalam perebutan kekuasaan internal. Akibatnya, pembunuhan itu dibalaskan oleh akademisi setia wazir itu dari Nizhamiyah , dengan membunuh Sultan. Akun tersebut diperdebatkan dan tetap menjadi kontroversi karena sejarah panjang persahabatan antara Malik Shah I dan Nizam.
Laporan lain mengatakan bahwa ia dibunuh dengan Malik Shah I di tahun yang sama, setelah perdebatan antara Sunni dan Syiah ulama yang disiapkan oleh dia dengan perintah Malik Shah I dan yang mengakibatkan mengkonversi dia dan raja untuk Shi tersebut 'ideologi. Kisah ini dilaporkan oleh putra-hukum-Nizam al-Mulk, Muqatil bin Atiyyah yang menghadiri perdebatan.
2.      Kondisi Sosial, Ekonomi, Dan Politik Pada Masa Nizam Al-Mulk
a.      Sosial
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina.Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukaan, melainkan berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima). Kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan pra petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani.
Sistem Sosial Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umayah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu :
·         Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
·         Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa yang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.).
·         Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran.
·         Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .
b.      Ekonomi
Nizam al-mulk menjadi perdana menteri selama tiga puluh tahun pada masa Dinasti Saljuq, memiliki pengetahuan tangan pertama semua urusan administrasi terutama yang berhubungan dengan tanah. diskusi-Nya di tanah kebijakan umum pada waktu itu dan reformasi ia menyarankan telah diringkas oleh Hasan dan Nadwi. Hasan catatan bahwa hubungan tanah dijelaskan dalam al-Tusi siyasat Nameh disajikan gambar yang sama sekali
Berbeda dari yang feodalisme Eropa. Menurut al-Tusi, itu adalah penguasa dan bukan pemilik yang memiliki tanah. Hasan tepat mengkritik pandangan ini karena bertentangan dengan prinsip Islam, bahwa itu adalah negara dan bukan kepala negara yang tanah milik. Tusi tampaknya rasionalisasi praktek feodal kuno di Persia, mengenai hak-hak sultan. Dia merekomendasikan penarikan biaya tanah dari tuan tanah jika ia gagal memenuhi kewajibannya. Tuan tanah itu, dalam pandangannya, pemungut cukai saja. Mereka bahkan tidak memiliki hak untuk memperbaiki kuantum pajak, yang merupakan hak penguasa. Dia ingin mengurangi kekuasaan dan hak-hak para pemilik tanah dan membuat semua penguasa kuat.[10]
c.       Politik
Pada zaman Nizam Al-Mulk tepatnya pada periode ke-4 masa Bani Abbasiyah ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang - orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang - cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Periode kelima (1199-1258 M).
3.      Pemikiran Ekonomi Nizam Al-Mulk
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang diharapkan dan efisiensi. Ia mendemonstrasikan melalui kejadian terkait di bawah ini:
Bahwa pada saat persoalan (affairs) Ray telah mengkhawatirkan Nizam al-Mulk, ia di beritahukan oleh spies bahwa Quthlumus telah meninggalkan Fortress dari Kurd mulai Plundering negeri dan negeri Ray harus di serang, Alp Arslan juga mulai menuju Nishapur dan ia dengan tentaranya mencapai Damghan. Dengan rasa persaudaraan< Alp Arslan mengirimkan sebuah pesan Quthlumus memintanya untuk kembali. Namun Quthlumush memenuhi tidak menaruh perhatian dan mulai melakukan gangguan ke wilayah sekitar Ray. Quutlumush memenuhi lembaga al-Mith dengan air agar kiriman ke Ray tidak sampai. Situasi ini mengkhawatirkan Alp Arslan. Nizam al Mulk berkata kepadanya “ sama sekali jangan khawatir, saya telah merekrut serdadu yang tembakannya tidak pernah mleset dar target. Saya telah mengamankan kesetiaan dari kitab suci Al Qur’an, ulama , dan sufi dari khurasan, kepadanya telah saya perlakukan dengan kasih sayang. Mereka semua datang mendoakan untuk kemenangan Sultan. Tentara anda ini adalah pendukung andayang paling baik”.
Setelah mengatakan ini, ia meletakkan senjata dan memberikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa membagikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa kudanya ke air dan menyebrangi dengan selamat beserta angkatan daratnya. Quthlumush terbunuh. Ketika Sultan kembali ke Ray pada tahun 456 H/ 1063 M, Admid al-Mulk menyambutnya dengan kehormatan militer penuh. Atas kemenangannya ini Alp Aslan sangat berterima kasih kepada Nizam al-Mulk.
Memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat. Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah, Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih berkuasa.
Madrasah Nidzamiyah yang didirikan oleh Nizam Al Mulk di Bghdad dan madrasah madrasah lainnya  dibawah kekuasaan bani Saljuk sudah mempunyai sistem menejemen yang  cukup baik. Hal tersebut di atas dilatarbelakangi adanya campur tangan Negara dalam masalah pendidikan pada waktu itu, sehingga masalah pendidikan Islam mulai terencana dengan baik dari mulai tujuan, kurikulum, perekrutan tenaga pendidikan sampai pada pendanaan dan sarana prasarana. Seperti yang diungkapkan Abd.Al Madjid al-Futuh’ madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan resmi pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, memilih guru dan memeberi dana yang teratur kepada madrasah. Yang menarik dari inovasi pendidikan Nizam Al-Mulk adalah dalam menangani menejemen keuangan madrasah yaitu dengan mengoptimalkan dana wakaf untuk pembiayaan pendidikan. Hal ini dijadikan alternative solusi untuk menciptakan pendidikan masal yang murah bagi rakyat dengan fasilitas yang cukup memadai.
Dengan adanya dana yang memadai, para syaikh (kalau sekarang professor) dan mudarris dapat digaji secara professional atas tugas-tugas pengajaran yang dilakukannya.
Dari uraian di atas maka masalah-masalah menejemen pada pendidikan Nizamiyah sudah cukup tertata dengan baik, artinya bahwa segala sesuatau yang akan dilakukan sudah terencana, baik dalam masalah sarana dan prasarana, tujuan, kurikulum,  perekrutan guru sampai pada masalah pendanaan lembaga madrasah Nidzamiyah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Ibnu Hazm (456 H/1064 M)
Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah seorang ahli hukum besar dengan pendekatan yang unik untuk hukum Islam, dan menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia adalah satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke dalam pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.
·         Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485 H/1018-1093 M)
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang diharapkan dan efisiensi.
Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat. Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah, Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar