BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pemikiran
ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan diskusi tentang ekonomi isi
Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan pandangan tentang isu-isu ekonomi
oleh sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti mereka, tidak sedikit di antara
mereka adalah ahli hukum dari eminensia.
Pentingnya tugas yang
akan membuang banyak cahaya yang diperlukan pada bagaimana pikiran Islam
menanggapi perubahan kondisi ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia
Islam. Kami sangat membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui
sejarah. Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan
meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.
Maka dari itu, pada
makalah ini saya akan membahas tentang
pemikiran ekonomi Ibnu Hazm dan Nizam. serta seluk beluk riwayat hidup
beliau.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pemikiran ekonomi Ibnu Hazm?
2. Bagaimana
pemikiran ekonomi Nizam-al Mulk?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
1.
Biografi Singkat Ibnu Hazm
Ibnu Hazm bernama
lengkap Abu Muhammad Ali abn Abu Umar Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Qurthubi
al-Andalusy, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M).[1] Di
rumah keluarganya yang kaya, mewah dan memiliki kekuasaan.[2] Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang
keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur
Abu Amir Muhammad bin Abu amir al-Qanthani (192 H) dan najib Abd al-Malik
al-Mudzaffar (399 H/ 1009 M). Kakeknya Yazid, adalah orang pertama kali masuk
Islam dari para kakeknya. Ia berasal dari Persia, sedangkan Khalaf, kakeknya
yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia. Sedangkan julukannya sAbu Muhammad
dan beberapa karyanya ialah “Abu Muhammad”, namun ia lebih dikenal dengan
sebutan “Ibn Hazm”.[3] Ia berasal dari sebuah keluarga
bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan
wazir administrasi pada masa pemerintahan Hijab al-Mansur Abu Amir Muhammad bin
Abu Amir al-Qanthani (w.192 H) dan Hajib Abdul malik al-mudzaffar (w. 399
H/1009 M).[4]
Sebagai putra seorang
menteri, sudah tentu proses pendidikan Ibnu hazm mendapat perhatian khusus.
Para pelayan yang bekerja di rumahnya, tidak hanya diberi tugas melayani dan
mengurusi perihal persoalan rumah tangga seperti biasanya, melainkan sebagian
ada yang diserahi tugas mengajar dan mendidik Ibnu hazm, seperti penuturan Ibnu
Hazm dalam Suwito dan
Fauzan, sebagai berikut: “Aku banyak bergaul dengan para wanita (pengasuh di
rumah) sehingga aku mengetahui segala seluk beluk dan rahasia mereka yang tidak
diketahui oleh orang lain, karena aku diasuh dan dididik di kamar mereka, hidu
dan besar di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bergaul dengan pria kecuali
setelah usia remaja. Mereka, para pengasuh itulah yang mengajari aku menulis
dan membaca Al-Qur’an serta memperkenalkan berbagai macam syair.”
Dimungkinkan ibu Ibnu
Hazm meninggal saat ia masih kecil, namun dalam tradisi Arab, ia tidak pernah
menyinggung perihal ibunya, seperti halnya ia tidak pernah menyinggung perihal
isterinya.
Ibnu Hazm memiliki
semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Ia mempelajari berbagai bidang ilmu
dan berguru kepada banyak ulama. Ia belajar hadits, antar lain dari Ahmad Ibnu
al-Jasur dan Abd Rahman al-‘Azdi. Gurunya dibidang fikih antara lain, abdullah
Ibnu Dahun, seorang faqih Malikiah yang banyak memberikan fatwa di Cordova.
Guru fiqh yang berjasa membawa Ibnu Hazm kepada madzhab al-Zhahiri adalah
Mas’ud Ibnu Sulaiman Ibnu Maflah.
Ia memiliki banyak guru
dan mempelaji banyak ilmu. Ia juga menerima hadis, syari’ah, serta sastra dari
para guru di Cordova, karena saat itu daerah tersebut di penuhi oleh para ulama
besar.
Setelah itu, Ibnu Hazm
di serahkan kepada Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang
mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Di
bawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan
menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum. Ia
belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16 tahun. Pada
saat itu, hadis dan fiqih merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan, sehingga
dapat dikatakan bahwa ibnu Hazm juga mempelajari fiqih di saat yang sama.
Ada banyak karya dari
Ibnu Hazm. Menurut putranya, Abu Rafii al-Fadl, seperti dikutip Yaqut, karya
Ibnu Hazm mencapai jumlah sekitar 400 jilid setebal kurang lebih 80.000
halaman,[5]
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh seorang tokoh di dunia Islam sebelum
Ibnu Hazm kecuali Abu Ja’far al-Thabari.
Karya tulis Ibnu Hazm
bisa dibedakan ada yang berbentuk buku seperti, al-Fashal, al-Muhalla dan al-Ihkam, dan ada pula yang
berbentuk risalah, karya kecil.[6] Karyanya meliputi bidang hukum,
logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.[7]
2.
Karya-karya
Ibnu Hazm
Menurut anaknya Abu
Rafi’, Ibnu Hazm memiliki 400 karya yang terdiri dari 80.000 lembar. Karyanya
meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.
Ia seorang pemikir yang sangat teliti. Ibnu Hazm menulis banyak kitab yang sebagian
besar di antaranya hilang ketika terjadi kekacauan di Kordoba. Di antara
karya-karyanya:
a)
At-Taqrib li Hudud Al-Mantiq.
b)
Tauq Al-Hamamah fi Fadhli Ahli
Al-Andalus
c)
Nuqat Al-Arus fi Tawarikhi al-Khulafa
d)
Al-Fashl fi Al-Nilal wa Al-Ahwa wa
An-Nihal
e)
Al-Hakam fi Ushul Al-Ahkam
f)
Al-Ittishal ila Fahm Al-Khishal
g)
Ibthal Al-Qiyas wa Ar-Ra’y wa
Al-Istihsan wa At-Taqlid wa At-Ta’lil
h)
Jamharat Al-Ansab (Ansab Al-Arab)
i)
Kitab Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawat
An-Nufus
Selain menulis kitab
ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya yang
sangat terkenal adalah thauq al-Hamamah (di bawah naungan cinta).[8]
Tidak dapat diragukan
lagi ibn Hazm adalah seseorang pakar dibidangnya, hal tersebut dapat kita lihat
dari komentardari beberapa tokoh, Abu Hamid al-Ghazali: “Saya melihat buku-buku
karangan Ibnu Hazm, semuanya menujukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”.
Di samping kemampuan
yang tinggi, Ibnu Hazm juga terkenal dengan sifat ikhlasnya, keikhlasan dan
tidak adanya tendensi apa-apa menjadikan Ibnu Hazm sebagai sosok ulama yang
berani, tegas, lugas dalam menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran,
dengan ucapan dan tulisan, tanpa memikirkan apakah hal tersebut menguntungkan
dirinya atau bahkan merugikan. Keberanian tersebut dapat jelas kita lihat dalam
buku-bukunya.
3.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
Beberapa pemikirannya
yang terkenal dalam bidang Ekonomi antara lain[9]:
1) Masalah
sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Sejalan dengan
pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan
berusaha dalam istinbat hukumnya di bidang ekonomi, sehingga
cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami yang mengarah kepada
kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandaskan keadilan sosial dan
keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-qur’an dan Hadits. Oleh karena itu,
sebagian penulis kontemporer menyatakan sebagai perintis ekonomi sosialis yang
Islami. namun demikian, penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung
menarik-narik syariat Islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk
pemikiran Barat. Syariat Islam bukan merupakan sistem sosialis yang menekankan
kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalis yang
menekankan kepada kepemilikan individual. Diantara pernyataan Ibnu Hazm berkenaan
dengan sewa tanah adalah :
“Menyewakan tanah
sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan,
mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka
panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun
dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm
menyatakan :
“Dalam persoalan
tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan
sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika
terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh
disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan
sama sekali.”
Dengan pernyataan
tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah, yaitu:
a.
Tanah dikerjakan atau digarap oleh
pemiliknya sendiri,
b.
Si pemilik mengizinkan orang lain
menggarap tanah tanpa sewa.
c.
Si pemilik memberikan kesempatan orang
lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari
dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi
tertentu sesuai kesepakatan.
Hal ini sebagaimana
telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. Dalam sistem ini, jika
tanaman itu gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu.
Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari Rafi’ bin Khudaij
r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari).
Dari Jabir bin Abdillah
r.a., ia berkata: “Rasulullah Saw melarang pengambilan upah atau bagian
tertentu dari tanah”. (Riwayat
Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a.,
ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah
ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah
tanah tersebut”. (Riwayat
Muslim)
Pandangan Ibnu Hazm
bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah
ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi
manusia tidak menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan
Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan
penguasaannya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi
justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak
memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah
Swt. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan
rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah
manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
2) Jaminan
sosial bagi orang tak mampu
a. Pemenuhan
kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan
empat pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman,
pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi
kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat menutupi aurat dan melindungi
seseorang dari udara panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat melindungi
seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi
yang layak.
Ibnu Hazm mengingatkan
bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan
lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi
populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang
lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan
orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita rasa dan berbagai pengaruh lain, seperti
kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang
lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat, yang wajib dipenuhi oleh orang
kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang
miskin, anak yatim, dan orang yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi.
Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini adalah sebagai
berikut[10] :
“Orang-orang kaya
dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin
diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat
dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk
mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan
semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim padan panas yang layak, dan
tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan
pandangan orang-orang yang lalu lalang.”Ibnu
b. Kewajiban
mengeluarkan harta selain zakat
Mengenai adanya
kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh
fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus
dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini dikemukakan oleh banyak sahabat dan
tabi’in, dan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm
bukan orang pertama yang berpendapat demikian.
Sebagian fuqaha lain
menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan
selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua
ini masyhur dikalangan ulama fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dilenal
pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata :
“Seorang sahabat
laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang mengadap Rosulullah
saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap.
Setelah mendekati Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian
Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam sehari semalam”. Ia bertanya,
“Apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali
kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya,
“Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, Tidak,
kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia
bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali
kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “Aku
tudak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia
beruntung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadits di atas
menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus
dipahami dalam konteks kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai
suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab kewajibannya melekat
pada jenis dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah
tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini
merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang memilki
harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam
kondisi normal, ia tidak dituntut lebih daripada itu.
Sebenarnya perbedaan
dari kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok
pertama menyatakan sebagai kewajiban kifai, dan kelompok kedua memandangnya
sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.
3) Zakat
Ibnu Hazm menekankan
pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta
dalam upaya memberantas kemiskinan. Pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat
memberikan sanksi kepada orang yang tidak mau membayar zakat, sehingga orang
mau mengeluarkan zakatnya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang
menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman
dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara
tersembunyi maupun terang-terngan.
Ibnu Hazm menekankan
bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan
zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi
kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti hutang
terhadap Allah SWT. Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan
konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti kredit macet bagi negara dalam
periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu
tertentu.
4) Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus
terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak, sebelum segala sesuatunya diatur,
hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara
cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan
berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini
mendiskusikan teori keuangan publik (public finance) konvensional
berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak. Besarnya nilai pajak
tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah.
Ibnu Hazm sangat
memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar
dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak
juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar
zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini mungkin terjadi
karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan
publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak
potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan
para petugas pajak.
Penghimpunan
administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M.
Imamuddin: “Cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan
dikelola oleh seorang kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba,
ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang
disebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulakan pajak
dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para
petugas ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan
pengawasan ketat, sehingga hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
B. Pemikiran Ekonomi Nizam Al-Mulk
1.
Biografi Singkat Nizam Al-Mulk
Nizam
Al-Mulk Lahir di sebuah desa kecil bernama Radkan, dekat Tus , di Persia
(Iran modern), dan pada awalnya melayani Ghaznavid sultan, Nizam al-Mulk
menjadi administrator kepala seluruh Khorasan provinsi dengan 1.059 CE.
Dari 1063, ia
menjabat sebagai wazir Saljuk dan tetap dalam posisi sepanjang pemerintahan Alp
Arslan (1.063-1.072) dan Malik Shah I (1072-1092).He left a
great impact on organization of the Seljuq governmental bodies and hence the
title Nizam al-Mulk which translates as "the order of
state". Dia meninggalkan dampak yang besar pada organisasi badan
pemerintah Saljuk dan karenanya Nizam al-Mulk judul yang diterjemahkan sebagai
"urutan negara". He was pivotal figure who bridged the political
gap between both the Abbasids and the Seljuqs against their various rivals such as the and
the Buyids .Dia adalah sosok penting yang menjembatani
kesenjangan politik antara kedua Abbasiyah dan Saljuk terhadap saingan mereka
berbagai seperti Fatimiyah dan Buwaihi.
Selain dari pengaruh luar biasa
sebagai perdana menteri dengan kewenangan penuh, ia juga terkenal karena
sistematis mendirikan sejumlah sekolah dari pendidikan tinggi di beberapa kota,
yang terkenal Nizhamiyah sekolah, yang dinamai menurut namanya. Dalam banyak
aspek, sekolah-sekolah ini ternyata menjadi pendahulu dan model universitas
yang didirikan di Eropa.
Nizam al-Mulk juga banyak dikenal
karena risalah tebal nya di kerajaan berjudul Siyasatnama (Kitab Pemerintahan
). Ia juga menulis sebuah buku berjudul al-Dastur Wuzarā, ditulis untuk anaknya
Abolfath Fakhr-ol-Malek, yang tidak berbeda dengan buku terkenal Qabus Nama .
Nizam al-Mulk dibunuh dalam
perjalanan dari Isfahan ke Baghdad pada 10 Ramadhan 485 AH (14 Oktober 1092 CE)
Literatur utama mengatakan dia ditikam oleh belati dari anggota Assassins
(Hashshashin) dikirim oleh terkenal Hassan-i- Sabbah dekat Nahavand, Persia, saat
ia sedang dibawa nya sampah. Pembunuh itu mendekatinya menyamar sebagai darwis.
Akun ini sangat menarik mengingat
cerita mungkin apokrif diceritakan oleh Jorge Luis Borges . Dalam cerita ini
pakta terbentuk antara Nizam al-Mulk muda (pada waktu itu dikenal sebagai Abdul
Khassem) dan dua temannya, Omar Khayyam dan Hassan-i Sabbah- . Kesepakatan
mereka menyatakan bahwa jika seseorang harus naik ke menonjol, bahwa mereka
akan membantu dua lainnya untuk melakukan hal yang sama. Nizam al-Mulk adalah
orang pertama yang melakukan hal ini ketika ia ditunjuk wazir ke sultan Alp
Arslan . Untuk memenuhi perjanjian tersebut ia menawarkan kedua posisi teman
dari peringkat dalam pengadilan. Omar menolak tawaran itu, meminta bukan untuk
diberikan sarana untuk melanjutkan studinya tanpa batas. Nizam ini lakukan,
serta membangun sebuah observatorium dia. Meskipun Hassan, seperti Omar,
memutuskan untuk menerima janji yang ditawarkan kepadanya, ia terpaksa
melarikan diri setelah merencanakan untuk membuang Nizam sebagai wazir.
Selanjutnya, Hassan tiba dan menaklukkan benteng Alamut , dari mana ia mendirikan
Assassins.
Laporan lain mengatakan ia dibunuh
secara rahasia oleh Malik Shah I dalam perebutan kekuasaan internal. Akibatnya,
pembunuhan itu dibalaskan oleh akademisi setia wazir itu dari Nizhamiyah ,
dengan membunuh Sultan. Akun tersebut diperdebatkan dan tetap menjadi
kontroversi karena sejarah panjang persahabatan antara Malik Shah I dan Nizam.
Laporan lain mengatakan bahwa ia
dibunuh dengan Malik Shah I di tahun yang sama, setelah perdebatan antara Sunni
dan Syiah ulama yang disiapkan oleh dia dengan perintah Malik Shah I dan yang
mengakibatkan mengkonversi dia dan raja untuk Shi tersebut 'ideologi. Kisah ini
dilaporkan oleh putra-hukum-Nizam al-Mulk, Muqatil bin Atiyyah yang menghadiri
perdebatan.
2. Kondisi
Sosial, Ekonomi, Dan Politik Pada Masa Nizam Al-Mulk
a.
Sosial
Di saat terjadi perpindahan
kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang
dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi
sampai ke Cina.Kondisi ini mengantarkan
terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya.
Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah.
Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana
era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap
dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan pada
masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq.
Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian,
makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan
Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai
keahlian.
Para penguasa Abbasiyah membentuk
masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi
dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi
setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan
meletakan ibu kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa
dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam,
Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat
Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukaan, melainkan
berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan, masyarakat
Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas
khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para pembesar
negara (Menteri, gubernur dan panglima). Kaum bangsawan non Bani Hasyim
(Quraisy) pada umumnya. Dan pra petugas khusus, tentara dan pembantu Istana.
Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fukoha,
saudagar dan penguasa buruh dan petani.
Sistem Sosial Pada masa ini, sistem
sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umayah). Akan
tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu :
·
Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta
mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
·
Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa
bangsa yang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.).
·
Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran.
·
Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul
kebudayaan baru .
b.
Ekonomi
Nizam
al-mulk menjadi perdana menteri selama tiga puluh tahun pada masa Dinasti
Saljuq, memiliki pengetahuan tangan pertama semua urusan administrasi terutama
yang berhubungan dengan tanah. diskusi-Nya di tanah kebijakan umum pada waktu
itu dan reformasi ia menyarankan telah diringkas oleh Hasan dan Nadwi. Hasan
catatan bahwa hubungan tanah dijelaskan dalam al-Tusi siyasat Nameh disajikan
gambar yang sama sekali
Berbeda dari
yang feodalisme Eropa. Menurut al-Tusi, itu adalah penguasa dan bukan pemilik
yang memiliki tanah. Hasan tepat mengkritik pandangan ini karena bertentangan
dengan prinsip Islam, bahwa itu adalah negara dan bukan kepala negara yang
tanah milik. Tusi tampaknya rasionalisasi praktek feodal kuno di Persia,
mengenai hak-hak sultan. Dia merekomendasikan penarikan biaya tanah dari tuan
tanah jika ia gagal memenuhi kewajibannya. Tuan tanah itu, dalam pandangannya,
pemungut cukai saja. Mereka bahkan tidak memiliki hak untuk memperbaiki kuantum
pajak, yang merupakan hak penguasa. Dia ingin mengurangi kekuasaan dan hak-hak
para pemilik tanah dan membuat semua penguasa kuat.[10]
c. Politik
Pada zaman Nizam Al-Mulk tepatnya
pada periode ke-4 masa Bani Abbasiyah ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk.
Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak
karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai
oleh orang - orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri
pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M)
dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang - cabang Madrasah Nizamiyah didirikan
hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi
perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak
cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang
dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam
bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir,
al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang
ilmu perbintangan.
Dalam bidang
politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi
wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah,
masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Periode kelima (1199-1258
M).
3. Pemikiran
Ekonomi Nizam Al-Mulk
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya
mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi.
Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang
diharapkan dan efisiensi. Ia mendemonstrasikan melalui kejadian terkait di
bawah ini:
Bahwa pada saat persoalan (affairs)
Ray telah mengkhawatirkan Nizam al-Mulk, ia di beritahukan oleh spies bahwa
Quthlumus telah meninggalkan Fortress dari Kurd mulai Plundering negeri dan
negeri Ray harus di serang, Alp Arslan juga mulai menuju Nishapur dan ia dengan
tentaranya mencapai Damghan. Dengan rasa persaudaraan< Alp Arslan
mengirimkan sebuah pesan Quthlumus memintanya untuk kembali. Namun Quthlumush
memenuhi tidak menaruh perhatian dan mulai melakukan gangguan ke wilayah
sekitar Ray. Quutlumush memenuhi lembaga al-Mith dengan air agar kiriman ke Ray
tidak sampai. Situasi ini mengkhawatirkan Alp Arslan. Nizam al Mulk berkata
kepadanya “ sama sekali jangan khawatir, saya telah merekrut serdadu
yang tembakannya tidak pernah mleset dar target. Saya telah mengamankan
kesetiaan dari kitab suci Al Qur’an, ulama , dan sufi dari khurasan, kepadanya
telah saya perlakukan dengan kasih sayang. Mereka semua datang mendoakan untuk
kemenangan Sultan. Tentara anda ini adalah pendukung andayang paling baik”.
Setelah mengatakan ini, ia
meletakkan senjata dan memberikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa
membagikan uang kepada bala tentara. Sultan membawa kudanya ke air dan
menyebrangi dengan selamat beserta angkatan daratnya. Quthlumush terbunuh.
Ketika Sultan kembali ke Ray pada tahun 456 H/ 1063 M, Admid al-Mulk
menyambutnya dengan kehormatan militer penuh. Atas kemenangannya ini Alp Aslan
sangat berterima kasih kepada Nizam al-Mulk.
Memastikan bahwa kebutuhan pokok
masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan
yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa
persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan
awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini
mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat
miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan
imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak
menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat.
Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya
untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah,
Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh tuan
tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka
tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut merupakan
hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan
dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih
berkuasa.
Madrasah Nidzamiyah yang didirikan
oleh Nizam Al Mulk di Bghdad dan madrasah madrasah lainnya dibawah
kekuasaan bani Saljuk sudah mempunyai sistem menejemen yang cukup baik.
Hal tersebut di atas dilatarbelakangi adanya campur tangan Negara dalam masalah
pendidikan pada waktu itu, sehingga masalah pendidikan Islam mulai terencana
dengan baik dari mulai tujuan, kurikulum, perekrutan tenaga pendidikan sampai
pada pendanaan dan sarana prasarana. Seperti yang diungkapkan Abd.Al Madjid
al-Futuh’ madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan resmi pemerintah
terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, memilih
guru dan memeberi dana yang teratur kepada madrasah. Yang menarik dari inovasi
pendidikan Nizam Al-Mulk adalah dalam menangani menejemen keuangan madrasah
yaitu dengan mengoptimalkan dana wakaf untuk pembiayaan pendidikan. Hal
ini dijadikan alternative solusi untuk menciptakan pendidikan masal yang murah
bagi rakyat dengan fasilitas yang cukup memadai.
Dengan adanya dana yang memadai,
para syaikh (kalau sekarang professor) dan mudarris dapat digaji secara
professional atas tugas-tugas pengajaran yang dilakukannya.
Dari uraian di atas maka
masalah-masalah menejemen pada pendidikan Nizamiyah sudah cukup tertata dengan
baik, artinya bahwa segala sesuatau yang akan dilakukan sudah terencana, baik
dalam masalah sarana dan prasarana, tujuan, kurikulum, perekrutan guru
sampai pada masalah pendanaan lembaga madrasah Nidzamiyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Ibnu Hazm (456 H/1064 M)
Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah
seorang ahli hukum besar dengan pendekatan yang unik untuk hukum Islam, dan
menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia adalah
satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini
menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke
dalam pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.
·
Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485 H/1018-1093 M)
Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya
mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas dan efisiensi.
Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar produktivitas yang diharapkan
dan efisiensi.
Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas
nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat
dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup
selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa
persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan
awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini
mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat
miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak
menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis keuangan yang sehat.
Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat bukanlah segala-galanya
untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan persoalan pajak tanah,
Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari pembebanan (charge) oleh
tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas pengumpul pajak, bahkan mereka
tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena hal tersebut merupakan
hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan
dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan pemerintah menjadi lebih
berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar